Cari Kata Kunci Di Blog Ini

Sabtu, 09 Desember 2017

KONSEP KEHILANGAN

A. Pengertian Kehilangan (LOSS)
        Menurut Iyus yosep dalam buku keperawatan jiwa 2007, Kehilangan adalah suatu keadaan Individu berpisah dengan sesuatu yang sebelumnya ada, kemudian menjadi tidak ada, baik terjadi sebagian atau keseluruhan. Kehilangan merupakan pengalaman yang pernah dialami oleh setiap individu selama rentang kehidupan, sejak lahir individu sudah mengalami kehilangan dan cenderung akan mengalaminya kembali walaupun dalam bentuk yang berbeda. 
Berdasarkan penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa kehilangan merupakan suatu keadaan gangguan jiwa yang biasa terjadi pada orang- orang yang menghadapi suatu keadaan yang berubah dari keadaan semula (keadaan yang sebelumya ada menjadi tidak ada)
        Kehilangan dan kematian adalah peristiwa dari pengalaman manusia yang bersifat universal dan unik secara individu. 
• Kehilangan pribadi adalah segala kehilangan signifikan yang membutuhkan adaptasi melalui proses berduka. Kehilangan terjadi ketika sesuatu atau seseorang tidak dapat lagi ditemui, diraba, didengar, diketahui, atau dialami. 
• Kehilangan maturasional adalah kehilangan yang diakibatkan oleh transisi kehidupan normal untuk pertama kalinya.
• Kehilangan situasional adalah kehilangan yang terjadi secara tiba-tiba dalam merespon kejadian eksternal spesifik seperti kematian mendadak orang yang dicintai atau keduanya.Anak yang mulai belajar berjalan kehilanga citra tubuh semasa bayinya,wanita yang mengalami menopause kehilangan kemampuan untuk mengandung, dan seorang pria yang tidak bekerja mungkin akan kehilangan harga dirinya.
• Kehilangan karena kematian adalah suatu keadaan pikiran, perasaan, dan aktivitas yang mengikuti kehilangan. Keadaan ini mencakup duka cita dan berkabung. Dukacita adalah proses mengalami psikologis, social dan fisik terhadap kehilangan yang dipersepsikan(Rando, 1991). Berkabung adalah proses yang mengikuti suatu kehilangan dan mencakup berupaya untuk melewati dukacita.

B. Bentuk-Bentuk Kehilangan
1. Kehilangan orang yang berarti 
2. Kehilangan kesejahteraan 
3. Kehilangan milik pribadi

C. Sifat Kehilangan
1. Tiba – tiba (Tidak dapat diramalkan)
Kehilangan secara tiba-tiba dan tidak diharapkan dapat mengarah pada pemulihan dukacita yang lambat. Kematian karena tindak kekerasan, bunuh diri, pembunuhan atau pelalaian diri akan sulit diterima.
2. Berangsur – angsur (Dapat Diramalkan)
Penyakit yang sangat menyulitkan, berkepanjangan, dan menyebabkan yang ditinggalkan mengalami keletihan emosional (Rando:1984). Penelitian menunjukan bahwa yang ditinggalkan oleh klien yang mengalami sakit selama 6 bulan atau kurang mempunyai kebutuhan yang lebih besar terhadap ketergantungan pada orang lain, mengisolasi diri mereka lebih banyak, dan mempunyai peningkatan perasaan marah dan bermusuhan. 

Kemampuan untuk meyelesaikan proses berduka bergantung pada makna kehilangan dan situasi sekitarnya. Kemampuan untuk menerima bantuan menerima bantuan mempengaruh apakah yang berduka akan mampu mengatasi kehilangan. Visibilitas kehilangan mempengaruh dukungan yang diterima. Durasi peubahan (mis. Apakah hal tersebut bersifat sementara atau permanen) mempengaruhi jumlah waktu yang dibutuhkan dalam menetapkan kembali ekuilibrium fisik, pshikologis, dan social.

D. Tipe-tipe Kehilangan
1. Actual Loss
Kehilangan yang dapat dikenal atau diidentifikasi oleh orang lain, sama dengan individu yang mengalami kehilangan.
2. Perceived Loss ( Psikologis ) 
Perasaan individual, tetapi menyangkut hal – hal yang tidak dapat diraba atau dinyatakan secara jelas.
3. Anticipatory Loss 
Perasaan kehilangan terjadi sebelum kehilangan terjadi.Individu memperlihatkan perilaku kehilangan dan berduka untuk suatu kehilangan yang akan berlangsung. Sering terjadi pada keluarga dengan klien (anggota) menderita sakit terminal.
Tipe dari kehilangan dipengaruhi tingkat distres. Misalnya, kehilangan benda mungkin tidak menimbulkan distres yang sama ketika kehilangan seseorang yang dekat dengan kita. Nanun demikian, setiap individunberespon terhadap kehilangan secara berbeda.kematian seorang anggota keluargamungkin menyebabkan distress lebih besar dibandingkan kehilangan hewan peliharaan, tetapi bagi orang yang hidup sendiri kematian hewan peliharaan menyebaabkan disters emosional yang lebih besar dibanding saudaranya yang sudah lama tidak pernah bertemu selama bertahun-tahun. Kehilangan dapat bersifat aktual atau dirasakan. Kehilangan yang bersifat actual dapat dengan mudah diidentifikasi, misalnya seorang anak yang teman bermainya pindah rumah. Kehilangan yang dirasakan kurang nyata dan dapat di salahartikan ,seperti kehilangan kepercayaan diri atau prestise. 

E. Lima Kategori Kehilangan
1. Kehilangan objek eksternal.
Kehilangan benda eksternal mencakup segala kepemilikan yang telah menjadi usang berpinda tempat, dicuri, atau rusak karena bencana alam. Kedalaman berduka yang dirasakan seseorang terhadap benda yang hilang bergantung pada nilai yang dimiliki orng tersebut terhadap nilai yang dimilikinya, dan kegunaan dari benda tersebut.
2. Kehilangan lingkungan yang telah dikenal
Kehilangan yang berkaitan dengan perpisahan dari lingkungan yang telah dikenal mencakup lingkungan yang telah dikenal Selma periode tertentu atau kepindahan secara permanen. Contohnya pindah ke kota baru atau perawatan diruma sakit. Kehilangan melalui perpisahan dari lingkungan yang telah dikenal dapat terjadi melalui situasi maturaasionol, misalnya ketika seorang lansia pindah kerumah perawatan, atau situasi situasional, contohnya mengalami cidera atau penyakit dan kehilangan rumah akibat bencana alam.
3. Kehilangan orang terdekat
Orang terdekat mencakup orangtua, pasangan, anak-anak, saudara sekandung, guru, teman, tetangga, dan rekan kerja.Artis atau atlet terkenal mumgkin menjadi orang terdekat bagi orang muda. Riset membuktikan bahwa banyak orang menganggap hewan peliharaan sebagai orang terdekat. Kehilangan dapat terjadi akibat perpisahan atau kematian.
4. Kehilangan aspek diri
Kehilangan aspek dalam diri dapat mencakup bagian tubuh, fungsi fisiologis, atau psikologis.Kehilangan anggota tubuh dapat mencakup anggota gerak , mata, rambut, gigi, atau payu dara. Kehilangan fungsi fsiologis mencakupo kehilangan control kandung kemih atau usus, mobilitas, atau fungsi sensori. Kehilangan fungsi fsikologis termasuk kehilangan ingatan, harga diri, percaya diri atau cinta.Kehilangan aspek diri ini dapat terjadi akibat penyakit, cidera, atau perubahan perkembangan atau situasi.Kehilangan seperti ini dapat menghilangkan sejatera individu.Orang tersebut tidak hanya mengalami kedukaan akibat kehilangan tetapi juga dapat mengalami perubahan permanen dalam citra tubuh dan konsep diri.
5. Kehilangan hidup
Kehilangan dirasakan oleh orang yang menghadapi detik-detik dimana orang tersebut akan meninggal. Doka (1993) menggambarkan respon terhadap penyakit yang mengancam- hidup kedalam enpat fase. Fase presdiagnostik terjadi ketika diketahui ada gejala klien atau factor resiko penyakit. Fase akut berpusat pada krisis diagnosis. Dalam fase kronis klien bertempur dengan penyakit dan pengobatanya ,yang sering melibatkan serangkain krisis yang diakibatkan. Akhirnya terdapat pemulihan atau fase terminal Klien yang mencapai fase terminal ketika kematian bukan hanya lagi kemungkinan, tetapi pasti terjadi.Pada setiap hal dari penyakit klien dan keluarga dihadapkan dengan kehilangan yang beragam dan terus berubah Seseorsng dapat tumbuh dari pengalaman kehilangan melalui keterbukaan, dorongan dari orang lain, dan dukungan adekuat.

F. Tahapan Proses Kehilangan dan Berduka
 Proses kehilangan terdiri dari berbagai macam proses, diantaranya:

1. Stressor internal atau eksternal – gangguan dan kehilangan – individu berfikir positif – kompensasi positif terhadap kegiatan yang dilakukan – perbaikan – mampu beradaptasi dan merasa nyaman.
2. Stressor internal atau eksternal – gangguan dan kehilangan – individu berfikir negatif – tidak berdaya – marah dan berlaku agresif – diekspresikan ke dalam diri ( tidak diungkapkan)– muncul gejala sakit fisik.
3. Stressor internal atau eksternal – gangguan dan kehilangan – individuberfikir negatif– tidak berdaya – marah dan berlaku agresif – diekspresikan ke luar diri individu –berperilaku konstruktif – perbaikan – mampu beradaptasi dan merasa kenyamanan.
4. Stressor internal atau eksternal – gangguan dan kehilangan – individuberfikir negatif–tidak berdaya – marah dan berlaku agresif – diekspresikan ke luar diri individu – berperilaku destruktif – perasaan bersalah – ketidakberdayaan.

Inti dari kemampuan seseorang agar dapat bertahan terhadap kehilangan adalah pemberian makna (personal meaning) yang baik terhadap kehilangan (husnudzon) dan kompensasi yang positif (konstruktif). 

 Fase kehilangan menurut Engel:

1. Pada fase ini individu menyangkal realitas kehilangan dan mungkin menarik diri, duduk tidak bergerak atau menerawang tanpa tujuan. Reaksi fisik dapat berupa pingsan, diare, keringat berlebih.
2.Pada fase kedua ini individu mulai merasa kehilangan secara tiba-tiba dan mungkin mengalami keputusasaan secara mendadak terjadi marah, bersalah, frustasi dan depresi.
3. Fase realistis kehilangan. Individu sudah mulai mengenali hidup, marah dan depresi, sudah mulai menghilang dan indivudu sudah mulai bergerak ke berkembangnya keasadaran.

 Sedangkan, menurut Kubler Ross ( 1969 ) terdapat 5 tahapan proses kehilangan:

1. Denial ( Mengingkari )
Reaksi pertama individu yang mengalami kehilangan adalah syok, tidak percaya atau menolak kenyataan bahwa kehilangan itu terjadi, dengan mengatakan “Tidak, saya tidak percaya bahwa itu terjadi”, ”itu tidak mungkin”. Bagi individu atau keluarga yang mengalami penyakit terminal, akan terus menerus mencari informasi tambahan.
Reaksi fisik yang terjadi pada fase pengingkaran adalah letih, lemah, pucat, mual, diare, gangguan pernafasan, detak jantung cepat, menangis gelisah, tidak tahu harus berbuat apa. Reaksi tersebut diatas cepat berakhir dalam waktu beberapa menit sampai beberapa tahun.
2. Anger ( Marah )
Sadar kenyataan kehilangan Proyeksi pada org sekitar tertentu, diri sendiri dan obyek Fase ini dimulai dengan timbulnya kesadaran akan kenyataan terjadinya kehilangan. Individu menunjukkan perasaan yang meningkat yang sering diproyeksikan kepada orang yang ada di lingkungannya, orang tertentu atau ditujukan kepada dirinya sendiri. Tidak jarang ia menunjukkan perilaku agresif, bicara kasar, menolak pengobatan , dan menuduh dokter dan perawat yang tidak becus. Respon fisik yang sering terjadi pada fase ini antara lain, muka merah, nadi cepat, gelisah, susah tidur, tangan mengepal. 
3. Bergaining ( Tawar Menawar )
Apabila individu telah mampu mengungkapkan rasa marahnya secara sensitif, maka ia akan maju ke fase tawar menawar dengan memohon kemurahan Tuhan. Respon ini sering dinyatakan dengan kata-kata ”kalau saja kejadian itu bisa ditunda maka saya akan sering berdoa”. Apabila proses berduka ini dialami oleh keluarga maka pernyataannya sebagai berikut sering dijumpai ”kalau yang sakit bukan anak saya”.
4. Depression ( Bersedih yang mendalam) 
Individu pada fase ini sering menunjukkan sikap antara lain menarik diri, tidak mudah bicara, kadang-kadang bersikap sebagai pasien yang sangat baik dan menurut, atau dengan ungkapan yang menyatakan keputusasaan, perasaan tidak berharga. Gejala fisik yang sering diperlihatkan adalah menolak makanan, ,susah tidur, letih, dorongan libido menurun. 
5. Acceptance (menerima)
Fase ini berkaitan dengan reorganisasi perasaan kehilangan. Pikiran selalu terpusat kepada objek atau orang lain akan mulai berkurang, atau hilang, individu telah menerima kenyataan kehilangan yang dialaminya, gambaran objek atau orang lain yang hilang mulai dilepaskan dan secara bertahap perhatian beralih pada objek yang baru. Fase menerima ini biasanya dinyatakan dengan kata-kata seperti ”saya betul-betul menyayangi baju saya yang hilang tapi baju baru saya manis juga”, atau “apa yang dapat saya lakukan supaya saya cepat sembuh”.

Apabila individu sudah dapat memulai fase-fase tersebut dan masuk pada fase damai atau fase penerimaan maka dia akan dapat mengakhiri proses berduka dan mengatasi perasaan kehilangan secara tuntas. Tapi apabila individu tetap berada pada salah satu fase dan tidak sampai pada fase penerimaan, jika mengalami kehilangan lagi maka akan sulit baginya masuk pada fase penerimaan.
Reorganisasi rasa kehilangan, dapat merima kenyataan kehilangan, sudah dapat lepas pd obyek yg hilang beralih ke obyek baru “apa yang dapat saya lakukan”.

 Fase berduka menurut Rando :

1. Penghindaran
Pada fase ini terjadi syok, menyangkal, dan ketidak percayaan 
2. Konfrontasi
Pada fase ini terjadi luapan emosi yang sangat tinggi ketika klien secara berulang melawan kehilangan mereka dan kedudukan mereka paling dalam.
3. Akomodasi
Pada fase ini klien secara bertahap terjadi penurunan duka yang akut dan mulai memasuki kembali secara emosional dan social sehari-hari dimana klien belajar hidup dengan kehidupan mereka.

 Menurut Lambert and Lambert ( 1985 ) 3 fase :

1. Repudiation ( Penolakan )
2. Recognition ( Pengenalan )
3. Reconciliation (Pemulihan /reorganisasi )

G. Faktor Yang Mempengaruhi Cara Setiap Individu Merespon Kehilangan :
Ada beberapa factor yang mempengaruhi setiap individu dalam merespon kehilangan. Karakteristik personal termasuk usia, jenis kelamin, setatus social ekonomi, yang hilang, karakteristik kehilangan, keyakinan cultural, dan spiritual, system pendukung, dan potensi pencapaian tujuan mempengaruhi respon terhadap kehilangan.
• Karakteristik Personal
Usia. Usia memainkan peran dalam pengenalan dan reaksi individu yerhadap kehilanga. Respon anak beragam sesuai dengan usia, pengalaman kehilangan sebelumnya, hubungan dengan yang meninggal, kepribadian, persepsi tentang kehilangan, makna tertentu dari kehilangan yang mereka miliki dan yang terpenting respon kelarga mereka terhadap kehilangan. Meskipun anak-anak mungkin tidak memahami konsep kematian karena usia mereka, mereka tetap mengembangkan persepsi tentang apa makna kehilangan bagi mereka. Anak-anak mungkin merasa bersalah karena tetap hidup, tetap sehat, atau mempunyai permintaan untuk kematian orang yang mereka cintai (Wheeler 7 pike,1993). 
Dewasa muda menghubungkan kehilangan signifikasinya terhadap status, peran, dan gaya hidup. Kehilangan pekerjaan, perceraiandan kerusakan fisik menyebabkan dukacita lebih mendalam dan mengan cam keberhasilan. Konsep dewasa muda tentang kematian sebagian besar merupakan produk dari keyakinan keagamaan dan cultural. Kematian seorang dewasa muda terutama sekali dipandang sebagai hal yang tragis oleh masyarakatkarena kematian tersebut adalah kehilangan kehidupan seseorang yang disadari sbg suatu potensi. Kehilangan seseorang yang mempunyai hubungan dekat menyebabkan ancaman bermakna terhadap gaya hidup. Setiap kehilangan pekerjaaan atau kemampuan untuk melakukan pekerjaan menyebabkan duka cita yang sangat besar bagi orag dewasa. 
Lansia mengalami kepenumpukan kedukaan akibat dari banyak perubahan. Lansia sering takut tentang kejadoan sekitar kematian melebihi kematian itu sendiri. Mereka mungkin merasa kesepian, isolasi, kehilangan peran social, penyakit yang berkepanjangan dan kehilangan determinasi diri dan jati diri sebagai sesuatu yang lebih buruk dari kematian(Rando, 1986, Kastenbaum, 1991).
Peran jenis kelamin. Reaksi kehilangn dipengaruhi oleh harapan social tentang peran pria dan wanita. Dalam banyak budaya di Amerika Serikat dan Kanada,umunya lebiah sulit bagi pria disbanding dengan wanita untuk mengespresikan dukacita secara terbuka. Pria dan wanita melekatkan makna berbeda terhadap bagian tubuh, fungsi, hubungan interpersonal, dan benda.
Pendidikan dan status sosioekonomi. Kehilanhgan adalah universal, dialami oleh setiap orang apapun status ekonominya.Umunyan, kekurangan sumber financial, pendidikan atau keteramoilan pekerjaan memperbesar tuntutan kepada pihak yang mengalmi dukacita. 

• Sifat hubungan
Pepatah mengatakan bahwa kehilangan orang tua berarti kehilanga masa lalu, kehilangan pasangan berati kehilangan masa kini dan kehilangan anak berarti kehilangan masa depan. Litelatur mendukung keyakinan bahwa kehilangan akan menciptakan respon kehilangn yang paling dalam (Saunders, 1992). Reaksi terhadap kehilangan di pengaruhi oleh kualitas hubungan. Makna hubungan pada hubungan duka akan mempengaruhi respon dukacita, apakah kehilangan tersebut akibat kematian, perpisahan atu bercerai. Hubungan yang ditandai dengan ambivalen yang ekstrem lebih sulit untuk diselesaikan dibandingkan hubungan yang normal. 
Salah satu peristiwa yang paling memyulitkan dalam hidup aslah kehilangan pasangan. Kehilangan pasangan dapat menyebabkan pasangannya menjadi kurang terampil dalam menghadapi tangung jawab keseluruhan. Kehilangna pasangan juga menimbulkan kesulitan bagi pasangan yang ditinggalkan untuk membina hubungan baru atau untuk mempertahankan hubungan yang sebelumnya sudah terbina atau dibentuk bersama.

• Sistem pendukung social 
Vasibilitas kehilanga, seperti kehilanga rumah akibat bencana alam, sering memunculkan dukungan dari sumber yang tidak diperkirakan. Vasibilitas kehlangan, seperti deformitas wajah, dapat menyebabkan kehilangan dukungan dari teman atau keluarga sehinga menambah proses kehilangan tersebut. Seperti seorang anggota keluarga yang dipenjara atau kematian pasangan gay-nya, sering mengalami kurang dukungan dari teman atau keluarganya. Kurangnya dukungan biasanya menyebabkan kesulitan dalm keberhasilan resolusi berduka (Rando, 1991).
Ketepata waktu dalam pemberian dukungan sangat penting. Dukungan harus tersedia ketika klien yang berduka melalui proses berkabung. Berbagai pengalaman dengan individu yang pernah berkabung dan pendukung bermanfaat sebagai dukungan yang dibutuhkan. Namun, bahkan ketika hal ini di berikan, umunya klien yang berduka belum dapat memanfaatkan kesempatan tersebut.
• Keyakinan spiritual dan budaya
Nilai, sikap, keyakinan, dan kebiasaan adalah aspek cultural yang mempengaruhi reaksi terhadap kehilangan, dukacita, dan kematian. Latar belakang budaya dan dinamika keluarga mempengaruhi pengekspresian berduka. Seseorang mungkin akan menemukan dukungan, ketenangan dan makna dalam kehilangan melalui keyakinan-keyakinan spiritual. Bagi sebagian klien kehilangan menimbulkan pertanyaan tentang makna hidup, nilai pribadi, dan keyakinan. Secara khas hal ini di tunjukan dengan respon”mengapa saya?” Konflik internal mengenai keyakinan keagamaan dapat juga terjadi.

H. Dukacita, Berkabung, dan  Kehilangan Karena Kematian

             Kehilangan karena kematian adalah suatu keadaan pikiran, perasaan, dan aktivitas yang mengikuti kehilangan. Keadaan ini mencakup duka cita dan berkabung. Dukacita adalah proses mengalami psikologis, social dan fisik terhadap kehilangan yang dipersepsikan(Rando, 1991). Dukacita merupakan respon individu atau reaksi emosi dari kehilangan dan terjadi karena kehilangan seperti : kehilangan hak, kehilangan hak hidup, menuju kematian. Berkabung adalah keadaan berduka yang ditunjukkan selama individu melewati reaksi berduka, seperti mengabaikan keadaan kesehatan secara ekstrim. Berkabung merupakan proses yang mengikuti suatu kehilangan dan mencakup berupaya untuk melewati dukacita.
Proses dukacita dan berkabung bersifat mendalam, internal, menyedihkan dan berkepanjangan.Tujuan duka cita adalah untuk mencapai fungsi yang lebih efektif dengan mengintekgrasikan kehilangan kedalam pengalaman hidup klien. Worden (1982), empat tugas dukacita yang memudahkan penyesuaian yang sehat terhadap kehilangan , dan Harper (1987) merancang tugas dalam akronim”TEAR”.
1. T: Untuk menerima realitas dari kehilangan
2. E; Mengalmi kepedihan akibat kehilangan 
3. A: Menyesuaikan lingkungan yang tidak lagi mencakup orang, benda atau aspek diri yang hilang
4. R: Memberdayakan kembali energy emosional kedalam hubungan yang baru.
Tugas ini tidak terjadi pada urutan yang khusus. Pada kenyataanya orang yang berduka mungkin melewati keempat tugas tersebut secara bersamaan atau hanya satu atau dua yang menjadi preoritas. 
Dukacita adaptif termasuk proses berkabung, koping, interaksi, perencanaan, dan pengenalan psikososial. Hal ini dimulai dalam merespons terhadap kesadaran tentang suatu ancaman kehilangan dan pengenalan tentang kehilangan yang berkaitan dengan masa lalu, saat ini, dan masa dating. Dukacita adaptif terjadi pada mereka yang menerima diagnosis yang mempunyai efek jangka panjang terhadap fungsi tubuh, seperti pada lupus eritomatosus sistemik.
Dukacita terselubung terjadi ketika seseorang mengalami kehilangan yang tidak dapat dikenali, rasa berkabung yang luas, atau didukung secara social. Dukacita mungkin terselubung dalam situasi dimana hubungan antara berduka dan meninggalkan tidak didasarkan pada ikatan keluarga yang dikenal.
Seseorang dapat tumbuh dari pengalaman kehilangan melalui keterbukaan, dorongan dari orang lain, dan dorongan yang adekuat. Dalam kasus lain kehilangan itu sendiri tidak didefinisikan secara secara social sebagai sesuatu yang signifikan, seperti halnya kematian perinatal, aborsi, atau adopsi.Kehilangan hewan peliharaan mungkin dipandang sebagai sesuatu yang signifikan.

DAFTAR PUSTAKA
Patricia A. Potter. 2005. Fundamental of Nursing: Concept, Proses, and Practice. Jakarta: EGC

Rando TA. 1986. Loss and Anticipatory Grief. Lexington: Lexiton Mass

Sumber lain:

http://teguh subianto. blog spot. com/2009/05 teori-kehilangan. html

Senin, 04 Desember 2017

Materi Konsep Spiritual

Konsep Spiritual Menurut Para Ahli :

Menurut Adler, manusia adalah makhluk yang sadar, yang berarti bahwa ia sadar terhadap semua alasan tingkah lakunya, sadar inferioritasnya, mampu membimbing tingkah lakunya, dan menyadari sepenuhnya arti dari segala perbuatan untuk kemudian dapat mengaktualisasikan dirinya. (dalam Mahpur&Habib,2006:35)

Spiritualitas diarahkan kepada pengalaman subjektif dari apa yang relevan secara eksistensial untuk manusia. Spiritualitas tidak hanya memperhatikan apakah hidup itu berharga, namun juga fokus pada mengapa hidup berharga.

Menjadi spiritual berarti memiliki ikatan yang lebih kepada hal yang bersifat kerohanian atau kejiwaan dibandingkan hal yang bersifat fisik atau material. Spiritualitas merupakan kebangkitan atau pencerahan diri dalam mencapai tujuan dan makna hidup. Spiritualitas merupakan bagian esensial dari keseluruhan kesehatan dan kesejahteraan seseorang. (Hasan, 2006:288)

Carl Gustav Jung mengatakan, “Dari sekian banyak pasien yang saya hadapi, tak satupun dari mereka yang problem utamanya bukan karena pandangan religius, dengan kata lain mereka sakit karena tidak ada rasa beragama dalam diri mereka, apalagi semuanya sembuh setelah bertekuk lutut di hadapan agama.”(dalam Ihsan, 2012:9)

Ternyata, kemudian ilmu pengetahuan dan agama keduanya merupakan kunci berharga untuk membuka pintu rumah berharga dunia untuk mengetahui Dia sebagai Pencipta. (Piedmont, 1999:985)

Menurut Fontana& Davic, definisi spiritual lebih sulit dibandingkan mendefinisikan agama atau religion, dibanding dengan kata religion, para psikolog membuat beberapa definisi spiritual, pada dasarnya spiritual mempunyai beberapa arti, diluar dari konsep agama, kita berbicara masalah orang dengan spirit atau menunjukan spirittingkah laku . kebanyakan spirit selalu dihubungkan sebagai faktor kepribadian. Secara pokok spirit merupakan energi baik secara fisik dan psikologi,(dalam Tamami,2011:19)

Secara terminologis, spiritu alitas berasal dari kata “spirit”. Dalam literatur agama dan spiritualitas, istilah spiritmemiliki dua makna substansial, yaitu:
Karakter dan inti dari jiwa-jiwa manusia, yang masing-masing saling berkaitan, serta pengalaman dari keterkaitan jiwa-jiwa tersebut yang merupakan dasar utama dari keyakinan spiritual.“Spirit” merupakan bagian terdalam dari jiwa, dan sebagai alat komunikasi atau sarana yang memungkinkan manusia untuk berhubungan dengan Tuhan.
 "Spirit” mengacu pada konsep bahwa semua “spirit” yang saling berkaitan merupakan bagian dari sebuah kesatua (consciousness and intellect) yang lebih besar. (http://www.wikipedia.com)
Menurut kamus Webster (1963) kata spirit berasal dari kata benda bahasa latin "Spiritus” yang berarti nafas (breath) dan kata kerja “Spirare” yang berarti bernafas. Melihat asal katanya , untuk hidup adalah untuk bernafas, dan memiliki nafas artinya memiliki spirit. Menjadi spiritual berarti mempunyai ikatan yang lebih kepada hal yang bersifat kerohanian atau kejiwaan dibandingkan hal yang bersifat fisik atau material. Spiritualitas merupakan kebangkitan atau pencerahan diri dalam mencapai makna hidup dan tujuan hidup. Spiritual merupakan bagian esensial dari keseluruhan kesehatan dan kesejahteraan seseorang. (dalam Tamami,2011:19)
 
Spiritualitas kehidupan adalah inti keberadaan dari kehidupan. Spiritualitas adalah kesadaran tentang diri dan kesadaran individu tentang asal, tujuan, dan nasib. (Hasan, 2006:294)


Pada penelitian-penelitian awal, baik spiritualitas maupun agama sering dilihat sebagai dua istilah yang memiliki makna yang hampir sama. Apa yang dimaksud dengan spiritualitas dan apa yang dimaksud dengan agama sering dianggap sama dan kadang membingungkan. Namun kemudian, spiritualitas telah dianggap sebagai karakter khusus (connotations) dari keyakinan seseorang yang lebih pribadi, tidak terlalu dogmatis, lebih terbuka terhadap pemikiran-pemikiran baru dan beragam pengaruh, serta lebih pluralistik dibandingkan dengan keyakinan yang dimaknai atau didasarkan pada agama-agama formal (http://www.wikipedia.com) 

Definisi Spiritualitas

Spiritualitas adalah kebutuhan bawaan manusia untuk berhubungan dengan sesuatu yang lebih besar dari diri manusia itu. Istilah ”sesuatu yang lebih besar dari manusia”adalah sesuatu yang diluar diri manusia dan menarik perasaan akan diri orang tersebut. Pengertian spiritualitas oleh Wigglesworth ini memiliki dua komponen, yaitu vertikal dan horizontal:
Komponen vertikal, yaitu sesuatu yang suci, tidak berbatas tempat dan waktu, sebuah kekuatan yang tinggi, sumber, kesadaran yang luar biasa. Keinginan untuk berhubungan dengan dan diberi petunjuk oleh sumber ini.
Komponen horizontal, yaitu melayani teman-teman manusia dan planet secara keseluruhan.

Komponen vertikal dari Wigglesworth sejalan dengan pengertian spiritualitas dari Schreurs (2002) yang memberikan pengertian spiritualitas sebagai hubungan personal terhadap sosok transenden. Spiritualitas mencakup inner life individu, idealisme, sikap, pemikiran, perasaaan dan pengharapannya terhadap Yang

Mutlak. Spiritualitas juga mencakup bagaimana individu mengekspresikan hubungannya dengan sosok transenden tersebut dalam kehidupan sehari-hari.

Selain itu juga sejalan dengan pendapat Elkins et al. (1988) yang mengartikan spiritualitas sebagai suatu cara menjadi dan mengalami sesuatu yang datang melalui kesadaran akan dimensi transenden dan memiliki karakteristik beberapa nilai yang dapat diidentifikasi terhadap diri sendiri, kehidupan, dan apapun yang dipertimbangkan seseorang sebagai Yang Kuasa.

Sedangkan komponen horizontal dari Wigglesworth sejalan dengan pengertian spiritualitas dari Fernando (2006) yang mengatakan bahwa spiritualitas juga bisa tentang perasaan akan tujuan, makna, dan perasaan terhubung dengan orang lain. Pendapat ini tidak memasukkan agama dalam mendefinisikan spiritualitas dan spiritualitas.

Spiritualitas dapat diekspresikan dalam kehidupan sehari-hari termasuk juga di tempat kerja. Ashmos (2000) mendefinisikan spiritualitas di tempat kerja sebagai suatu pengenalan bahwa karyawan memiliki ”kehidupan dalam” yang memelihara dan dipelihara oleh pekerjaan yang bermakna yang mengambil tempat dalam konteks komunitas. Pengertian spiritualitas di tempat kerja dari Ashmos memiliki tiga komponen, yaitu kehidupan dalam (inner life), pekerjaan yang bermakna, dan komunitas. Ashmos ingin menekankan bahwa spiritualitas di tempat kerja bukan tentang agama, walaupun orang terkadang mengekspresikan kepercayaan agama mereka di tempat kerja.

Spiritualitas yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada definisi dari Tischler (2002) yaitu spiritualitas sebagai suatu hal yang berhubungan dengan perilaku atau sikap tertentu dari seorang individu, menjadi seorang yang spiritual berarti menjadi seorang yang terbuka, memberi, dan penuh kasih.

Setelah menguraikan beberapa definisi spiritualitas dan spiritualitas di tempat kerja, selanjutnya akan diuraikan mengenai komponen-komponen dari spiritualitas.

Komponen Spiritualitas

Elkins et al. (1988) melakukan penelitian dengan melibatkan beberapa orang yang mereka anggap memiliki spiritualitas yang berkembang (highly spiritual). Partisipan dalam penelitian ini diberikan pertanyaan menyangkut berbagai komponen spiritualitas (yang didapat dari studi teoritis berbagai literatur humanistik, fenomenologis dan eksistensialisme yang telah dilakukan sebelumnya) dan diminta untuk menilai komponen-komponen tersebut berdasarkan pengalaman dan pengertian pribadi mereka mengenai spiritualitas itu sendiri. Hasil dari penelitian ini mengarahkan Elkins et al. untuk sampai pada sembilan komponen dari spiritualitas, yaitu:

1.  Dimensi transenden
Individu spiritual percaya akan adanya dimensi transenden dari kehidupan. Inti yang mendasar dari komponen ini bisa berupa kepercayaan terhadap tuhan atau apapun yang dipersepsikan oleh individu sebagai sosok transenden. Individu bisa jadi menggambarkannya dengan menggunakan istilah yang berbeda, model pemahaman tertentu atau bahkan metafora. Pada intinya penggambaran tersebut akan menerangkan kepercayaannya akan adanya sesuatu yang lebih dari sekedar hal-hal yang kasat mata. Kepercayaan ini akan diiringi dengan rasa perlunya menyesuaikan diri dan menjaga hubungan dengan realitas transenden tersebut. Individu yang spiritual memiliki pengalaman bersentuhan dengan dimensi transenden. Komponen ini sama dengan komponen kesatuan dengan yang transenden dari LaPierre dalam Hill (2000).

2.  Makna dan tujuan dalam hidup
Individu yang spiritual memahami proses pencarian akan makna dan tujuan hidup. Dari proses pencarian ini, individu mengembangkan pandangan bahwa hidup memiliki makna dan bahwa setiap eksistensi memiliki tujuannya masing-masing. Dasar dan inti dari komponen ini bervariasi namun memiliki kesamaan yaitu bahwa hidup memiliki makna yang dalam dan bahwa eksistensi individu di dunia memiliki tujuan. Komponen ini sama dengan komponen pencarian akan makna hidup dari LaPierre dalam Hill (2000).

3.  Misi hidup
Individu merasakan adanya panggilan yang harus dipenuhi, rasa tanggung jawab pada kehidupan secara umum. Pada beberapa orang bahkan mungkin merasa akan adanya takdir yang harus dipenuhi. Pada komponen makna dan tujuan hidup, individu mengembangkan pandangan akan hidup yang didasari akan pemahaman adanya proses pencarian makna dan tujuan. Sementara dalam komponen misi hidup, individu memiliki metamotivasi yang berarti mereka dapat memecah misi hidupnya dalam target-target konkrit dan tergerak untuk memenuhi misi tersebut.

4.  Kesakralan hidup
Individu yang spiritual mempunyai kemampuan untuk melihat kesakralan dalam semua hal hidup. Pandangan akan hidup mereka tidak lagi dikotomi seperti pemisahan antara yang sakral dan yang sekuler, atau yang suci dan yang duniawi, namun justru percaya bahwa semua aspek kehidupan suci sifatnya dan bahwa yang sakral dapat juga ditemui dalam hal-hal keduniaan.

5.  Nilai-nilai material
Individu yang spiritual menyadari akan banyaknya sumber kebahagiaan manusia, termasuk pula kebahagiaan yang bersumber dari kepemilikan material. Oleh karena itu, individu yang spiritual menghargai materi seperti kebendaan atau uang namun tidak mencari kepuasaan sejati dari hal-hal material tersebut. Mereka menyadari bahwa kepuasaan dalam hidup semestinya datang bukan dari seberapa banyak kekayaan atau kebendaan yang dimiliki.

6.  Altruisme
Individu yang spiritual menyadari akan adanya tanggung jawab bersama dari masing-masing orang untuk saling menjaga sesamanya (our brother’s keepers). Mereka meyakini bahwa tidak ada manusia yang dapat berdiri sendiri, bahwa umat manusia terikat satu sama lain sehingga bertanggung jawab atas sesamanya. Keyakinan ini sering dipicu oleh kesadaran mereka akan penderitaan orang lain. Nilai humanisme ini diikuti oleh adanya komitmen untuk melakukan tindakan nyata sebagai perwujudan cinta altruistiknya pada sesama.

7.  Idealisme
Individu yang spiritual memiliki kepercayaan kuat pada potensi baik manusia yang dapat diaktualisasikan dalam berbagai aspek kehidupan. Memiliki keyakinan bukan saja pada apa yang terlihat sekarang namun juga pada hal baik yang dimungkinkan dari hal itu, pada kondisi ideal yang mungkin dicapai. Mereka percaya bahwa kondisi ideal adalah sesuatu yang sebenarnya mungkin untuk diwujudkan. Kepercayaan ini membuat mereka memiliki komitmen untuk menjadikan dunia tempat yang lebih baik, setidaknya dalam kapasitasnya masing-masing.

8.  Kesadaran akan peristiwa tragis
Individu yang spiritual menyadari akan perlu terjadinya tragedi dalam hidup seperti rasa sakit, penderitaan atau kematian. Tragedi dirasa perlu terjadi agar mereka dapat lebih menghargai hidup itu sendiri dan juga dalam rangka meninjau kembali arah hidup yang ingin dituju. Peristiwa tragis dalam hidup diyakininya sebagai alat yang akan membuat mereka semakin memiliki kesadaran akan eksistensinya dalam hidup.

9.  Buah dari spiritualitas
Komponen terakhir merupakan cerminan atas kedelapan komponen sebelumnya dimana individu mengolah manfaat yang dia peroleh dari pandangan, kepercayaan dan nilai-nilai yang dianutnya. Pada komponen ini individu menilai efek dari spiritualitasnya, dan biasanya dikaitkan dengan hubungannya terhadap diri sendiri, orang lain, alam, kehidupan, dan apapun yang dipersepsikannya sebagai aspek transenden.

Komponen-komponen spiritualitas menurut Elkins et. al. (1988) mencakup hubungan seorang individu dengan daya yang melebihi dirinya dan juga dengan orang-orang di sekitarnya. Seseorang dengan spiritualitas yang berkembang akan memiliki komponen-komponen di atas. Selanjutnya akan diuraikan mengenai aspek-aspek dari spiritualitas.

Aspek-Aspek Spiritualitas

Menurut Schreurs (2002) spiritualitas terdiri dari tiga aspek yaitu aspek eksistensial, aspek kognitif, dan aspek relasional:
Aspek eksistensial, dimana seseorang belajar untuk “mematikan” bagian dari dirinya yang bersifat egosentrik dan defensif. Aktivitas yang dilakukan seseorang pada aspek ini dicirikan oleh proses pencarian jati diri (true self).
Aspek kognitif, yaitu saat seseorang mencoba untuk menjadi lebih reseptif terhadap realitas transenden. Biasanya dilakukan dengan cara menelaah literatur atau melakukan refleksi atas suatu bacaan spiritual tertentu, melatih kemampuan untuk konsentrasi, juga dengan melepas pola pemikiran kategorikal yang telah terbentuk sebelumnya agar dapat mempersepsi secara lebih jernih pengalaman yang terjadi serta melakukan refleksi atas pengalaman tersebut, disebut aspek kognitif karena aktivitas yang dilakukan pada aspek ini merupakan kegiatan pencarian pengetahuan spiritual.
Aspek relasional, merupakan tahap kesatuan dimana seseorang merasa bersatu dengan Tuhan (dan atau bersatu dengan cintaNya). Pada aspek ini seseorang membangun, mempertahankan, dan memperdalam hubungan personalnya dengan Tuhan.

Selanjutnya akan diuraikan mengenai kompetensi apa saja yang didapat dari spiritualitas yang berkembang.

Kompetensi yang didapat dari Spiritualitas yang Berkembang

Tischler (2002) mengemukakan terdapat empat kompetensi yang didapat dari spiritualitas yang berkembang, yaitu :
  • Kesadaran Pribadi (personal awareness), yaitu bagaimana seseorang mengatur dirinya sendiri, self-awareness, emotional self-awareness, penilaian diri yang positif, harga diri, mandiri, dukungan diri, kompetensi waktu, aktualisasi diri
  • Keterampilan Pribadi (personal skills), yaitu mampu bersikap mandiri, fleksibel, mudah beradaptasi, menunjukkan performa kerja yang baik
  • Kesadaran Sosial (social awareness), yaitu menunjukkan sikap sosial yang positif, empati, altruisme
  • Keterampilan Sosial (social skills) yaitu memiliki hubungan yang baik dengan teman kerja dan atasan, menunjukkan sikap terbuka terhadap orang lain (menerima orang baru), mampu bekerja sama, pengenalan yang baik terhadap nilai positif, baik dalam menanggapi kritikan

Seseorang dengan spiritualitas yang berkembang akan memiliki komponen-komponen di atas. Sebagai contoh, pada sisi kesadaran sosial, Orang-orang yang spiritualnya baik memperlihatkan sikap sosial yang lebih positif, lebih empati, dan menunjukkan altruisme yang besar. Mereka juga cenderung untuk merasa lebih puas dengan pekerjaannya. Penelitian ini akan menggunakan kompetensi-kompetensi yang didapat dari spiritualitas yang berkembang sebagai dasar untuk membuat alat ukur.

Setelah diuraikan beberapa kompetensi yang didapat dari spiritualitas yang berkembang, selanjutnya akan diuraikan faktor-faktor yang berhubungan dengan spiritualitas.

Faktor yang berhubungan dengan spiritualitas

Dyson dalam Young (2007) menjelaskan tiga faktor yang berhubungan dengan spiritualitas, yaitu:
a. Diri sendiri
Jiwa seseorang dan daya jiwa merupakan hal yang fundamental dalam eksplorasi atau penyelidikan spiritualitas

b. Sesama
Hubungan seseorang dengan sesama sama pentingnya dengan diri sendiri. Kebutuhan untuk menjadi anggota masyarakat dan saling keterhubungan telah lama diakui sebagai bagian pokok pengalaman manusiawi

c. Tuhan
Pemahaman tentang Tuhan dan hubungan manusia dengan Tuhan secara tradisional dipahami dalam kerangka hidup keagamaan. Akan tetapi, dewasa ini telah dikembangkan secara lebih luas dan tidak terbatas. Tuhan dipahami sebagai daya yang menyatukan, prinsip hidup atau hakikat hidup. Kodrat Tuhan mungkin mengambil berbagai macam bentuk dan mempunyai makna yang berbeda bagi satu orang dengan orang lain. Manusia mengalami Tuhan dalam banyak cara seperti dalam suatu hubungan, alam, musik, seni, dan hewan peliharaan. Penyelenggara kesehatan dan penyelenggara perawatan spiritual yang efektif dapat mengintegrasikan semua ungkapan spiritualitas ini dalam perawatan pada pasien

Howard (2002) menambahkan satu faktor yang berhubungan dengan spiritualitas, yaitu lingkungan. Young (2007) mengartikan bahwa lingkungan adalah segala sesuatu yang berada di sekitar seseorang.
Young (2007) juga menjelaskan bahwa proses penuaan adalah suatu langkah yang penting dalam perjalanan spiritual dan pertumbuhan spiritual seseorang. Orang-orang yang memiliki spiritualitas berjuang mentransendensikan beberapa perubahan dan berusaha mencapai pemahaman yang lebih tinggi tentang hidup mereka dan maknanya.